Tahapan Lengkap Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Toraja – Sahabat sekalian pada kesempatan kali ini Berakhir Pekan Akan Berbagi Artikel me...
Tahapan Lengkap Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ di Toraja – Sahabat sekalian pada kesempatan kali ini Berakhir Pekan Akan Berbagi Artikel mengenai Tahapan lengkap pelaksanaan upacara atau pesta orang mati rambu solo’ Toraja secara umum, meskipun pada kenyataanya di lapangan terjadi kergamaman prosesi rambu solo di toraja, misalkan rambu solo; toraja barat beda dengan rambu solo; sa’dan, begitupun daerah lain di tondok lepongan bulan tana matarik allo ada kekhasan masing-masing. Proses Pelaksanaan Upacara Rambu Solo’ Sebelum pelaksanaan upacara rambu solo’, beberapa persiapan yang dilakukan:
PRA UPACARA RAMBU
SOLO’
Ma’ dio (Memandikan
Jenazah)
Pada masyarakat Toraja secara umum, apabila ada yang
meninggal akan dimandikan oleh keluarga terdekat, setelah itu akan disuntik
formalin dengan tujuan agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini
dikarena jika ada yang meninggal tidak langsung dimakamkan, keluarga masih
mempersiapkan segala sesuatunya untuk pelaksanakan upacara pemakaman (rambu
solo’). Jenazah yang telah disuntik dibaringkan dalam sebuah kamar, sampai
keluarga telah menyediaan sebuah peti jenasah. Pada sore hari diadakan ibadah
duka sebanyak dua kali. Setelah itu, akan diadakan ibadah yang ke 3 (tiga)
sekaligus memasukan jenasah kedalam peti. Ibadah duka tersebut akan dipimpin
oleh pendeta atau pastor dari gereja keluarga yang meninggal. Selama ibadah
dilaksanakan keluarga terdekat maupun masyarakat setempat membantu keluarga
yang berduka mempersiapkan perlengkapan untuk ibadah misalnya tikar, peralatan
makan dan minum. Selain itu ada yang membantu menyumbangkan beras, kopi, gula,
rokok, tuak (minuman tradisional). Pada malam hari keluarga dan masyarakat
terdekat bergantian datang dirumah duka
untuk menemani keluarga yang sedang berduka. Masyarakat Toraja masih menganggap
orang yang telah meninggal sebagai orang sakit (makula) apabila keluarga belum
melaksanakan upacara rambu solo’. Sehingga selama belum ada pelaksanaan upacara
keluarga akan menganggapnya sebagai orang sakit dan diperlakukan sebagai mana
orang sakit pada umunya misalnya menyediakan kopi atau teh pada pagi hari,
menyediakan rokok jika yang meninggal merokok, menyediakan sirih apabila yang
meninggal memakan sirih waktu masih hidup, serta memberikan makan siang dan
makan malam dihidangkan dipiring lalu diletakkan disamping peti jenazah.
Sirampun (Pertemuan Keluarga)
Pertemuan keluarga orang yang wafat, baik dari pihak ibu
maupun bapak dilakukan untuk membicarakan ahli waris tingkat upacara yang akan
dilakukan, tempat pelaksanaan upacara, persediaan hewan sekaligus memperhatikan
status sosial atau kasta orang yang meninggal tersebut. Pertemuan keluarga
berupaya untuk mengambil keputusan dan harus disetujui oleh semua pihak
utamanya ahli waris atau keturunannya. Namun apabila yang meninggal tidak
memiliki warisan, hal tersebut tidak menjadi masalah. Pertemuan seperti itu
juga dihadiri oleh ketua-ketua adat dan pemerintah. Secara rinci keputusan yang
harus diambil dalam pertemuan keluarga itu, adalah kesepakatan tentang tingkat
upacara pemakaman. Tingkat upacara itu disesuaikan dengan kemampuan menyediakan
hewan dan strata sosial orang meninggal. Penentuan jumlah hewan, berdasarkan
hewan-hewan yang disiapkan oleh ahli waris maupun bukan ahli waris. Selain itu,
tempat pelaksanaan upacara, misalnya di rumah tempat meninggalnya atau
ditetapkan di Tongkonan. Selanjutnya pembahasan mengenai persiapan pondok
upacara.
Melantang (Pembuatan Pondok)
Pemondokan dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat
(pa’tondokan) sekitarnya. Mulai dari persediaan bambu, bapakbapak atau anak
mudah saling membagi tugas ada yang
menebang bambu kemudian ada bertugas mengangkat bambu ke tempat yang akan melaksanakan
upacara. Setelah persediaan bambu telah cukup, kemudian masyarakat membuat
pondok sesuai dengan kesepakatan dari keluarga. Pondok diatur secara teratur
mengelilingi tempat jenazah (tempat mengatur acara pemakaman), yang diatur oleh
petugas-petugas upacara termasuk dalam hal ini penyiapan pondok-pondok tempat
memasak makanan, menerima tamu, tempat tidur oleh keluarga pada malam hari.
Pondok-pondok yang dibangun tersebut juga harus disesuaikan dengan kasta atau
strata sosial yang akan diupacarakan. Pondok
(lantang) terdiri dari: a. Pondok
Penerimaan Tamu (Lantang Karampuan), merupakan tondok yang menampung para tamu
dari berbagai kerabat atau keluarga yang tiba dari berbagai tempat. b. Pondok Keluarga (Lantang Keluarga), merupakan
pondok tersendiri dari keluarga si mati baik dari pihak ayah atau ibu yang
telah dibagi sesuatu kesepakatan keluarga. Selain itu ada tempat tersendiri untuk
tempat si mati yaitu lakkian, pondok yang lebih tinggi dari pondok yang
lainnya. Ada tempat tersendiri untuk membagi-bagikan daging kepada tokoh
masyarakat, pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat. Para ibu-ibu, anak mudi setempat
bertugas dibagian dapur misalnya menapis beras (manta’pi barra’), memasak nasi
(ma’nasu), menyediakan kopi, air minum, membersihkan tempat untuk mendirikan
pondok, dan lain sebagainya.
Ma’pasadia
Pengkarangan
(Persediaan Peralatan Upacara) Mempersiapkan alat upacara seperti
peralatan makan, peralatan tidur. Biasanya peralatan makan sudah ada di dalam
kelompok masyarakat, persediaanya oleh semua anggota kelompok sehingga
peralatan tersebut bisa dipinjamkan oleh semua anggota yang membutuhkan. Dalam
kaitan dengan peralatan upacara misalnya perhiasan-perhiasan, alat saji.
Peralatan-peralatan upacara yang tidak boleh kurang dari semestinya seperti
tombi-tombi, gendang, bombongan dan beberapa macam pandel atau bendera upacara.
Termasuk dalam persiapan ini adalah persiapan tau-tau (patung orang yang meninggal)
bagi orang mampu.
PUNCAK PERTAMA UPACARA
RAMBU SOLO’
Ma’Pasurruk
Ma’pasurruk adalah kegaiatan mengarak kerbau (tedong)
sekitar lokasi tempat pelaksanaan upacara sebanyak tiga kali dan pertemuan
keluarga yang bertujuan untuk mengevaluasi kembali hasil musyawarah keluarga
sebelumnya, utamanya berkaitan dengan kesanggu-pannya untuk menyediakan hewan
kurban berupa kerbau, meliputi kesiapan pihak keluarga baik dalam hubungan
keluarga secara vertikal maupun secara horizontal. Hubungan vertikal misalnya kesiapan
anak untuk orang tuanya (ibu dan ayah) apabila yang meninggal adalah orang
tuanya dan sebaliknya orangtua apabila anaknya yang meninggal. Sedangkan
hubungan horizontal, yakni hubungan saudara kandung atau keluarga dari pihak
ayah dan ibu. Pada tahap mengarak semua kerbau yang telah disiapkan oleh pihak
keluarga, mengelilingi Tongkonan dimana almarhum disemayamkan atau tempat
pelaksanaan upacara. Pada upacara itu dipotong dua ekor kerbau yang kemudian
dagingnya dibagikan kepada para penggembala kerbau. Pemotongan dan pembagian
itu dilakukan oleh To Parengge dan Ambe Tondok. Kegiatan itu, dalam urut-urutan
upacara Rambu Solo’ pada dasarnya masih rangkaian menghadapi Aluk Palao atau
Upacara pemakaman kedua. Ada kegiatan dalam acara Ma’Pasulluk yaitu pemberian
nama bagi kerbau yang disediakan oleh pihak keluarga. Pemberian nama itu, berkaitan
dengan sebutan nantinya pada saat pelaksanaan Ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Pemberian
nama itu biasanya diberikan oleh masing-masing pemiliknya. Fungsi pemotongan
kerbau, disamping sebagai makanan bagi semua tamu yang
hadir.
Mangriu’
batu-Mesimbuang
Mangriu’ batu merupakan cara menarik batu simbuang dari
tempatnya ke lapangan upacara. Batu simbuang mempunyai fungsi praktis yaitu
tempat mengikat kerbau dan sebagai simbol telah mengadakan upacara. Pekerjaan itu
dilakukan oleh berpuluh-puluh orang bahkan ratusan orang secara gotong royong.
Pada acara itu dipotong seekor kerbau dan dua ekor babi. Fungsinya disamping
sebagai sajian juga sebagai makanan bagi semua yang hadir. Batu itu kemudian
ditanam di tengah lapangan tempat akan dilaksanakannya upacara yang kemudian
dikenal dengan nama Simbuang Batu (menhir). Kegiatan itu juga biasa disebut
Mesimbuang. Pengadaan batu simbuang kurang lebih ada 24 ekor kerbau yang
disediakan oleh keluarga, apabila tidak memenuhi maka pada tahap ini
ditiadakan. Kegiatan itu dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan mengambil pohon
ijuk, pohon pinang, pohon lambiri dan pohon kadingi dari suatu tempat untuk
dibawa ke Rante. Pohon tersebut ditanam disamping batu menhir yang nantinya
digunakan sebagai tempat menambat kerbau setelah acara Ma’pasonglo. Kegunaan
simbuang batu (menhir) yaitu sebagai lambang bagi si mati, sekaligus untuk
mengingatkan generasi dari si mati bahwa nenek moyang mereka pernah melaksanakan
upacara, dan sebagai upaya agar generasi selanjutnya tidak melupakan dan tetap menghormati
tradisi para leluhur. Pohon ijuk nantinya digunakan sebagai tempat menambat
Parepe (tedong balian). Pada saat pemotongan kepala kerbau itu akan diberikan
kepada Tongkonan Sokkong Bayu (tongkonan utama dan tempat pelaksanaan upacara.
Pada hari yang sama juga dilakukan kegiatan Mebala’kaan yaitu mendirikan pondok
di tengah rante atau lapangan dengan tinggi tiang dua sampai tiga meter. Tiang
dari tiang kapok. Pondok yang disebut Bala’kan itu akan digunakan sebagai
tempat pembagian daging saat ma’ pasonglo dan pada allo katongkonan juga
berfungsi sebagai tempat To Minaa berbicara pada saat acara Ma’pasa Tedong.
Tanduk kerbau yang telah dipotong akan kumpulkan untuk ditempelkan secara
bersusun pada tiang utama depan rumah Tongkonan dari yang meninggal. Tanduk
kerbau tersebut melambangkan bahwa anggota dari Tongkonan telah melaksanakan upacara.
Ma’Pasa Tedong
Ma’ pasa tedong adalah kegiatan perarakan kerbau yang disumbangkan
oleh keluarga disekitar pelaksanaan upacara. Semua kerbau yang disumbangkan
oleh pihak keluarga dikumpulkan kembali di halaman lokasi tempat persemayaman
almarhum/almarhumah yang akan diupacarakan. Dalam acara tersebut, sesuai dengan
istilah yang digunakan untuk kegiatan tersebut Ma’ pasa tedong yang secara
bahasa berarti pasar kerbau, dilakukan penilaian terhadap kerbau yang sudah
ada. Pada saat itu juga To Minaa (pemimpin upacara) menyebutkan kerbau dan
pemilikny dari atas Balakaan. Tujuan dari ma’ pasa tedong untuk mengumpulkan
kerbau yang disumbang keluarga kemudian kerbau tersebut akan diberikan nama
sesuai keinginan dari pengembala kerbau, setelah itu akan diarahkan ke satu
tempat lalu kerbau tersebut diadu.
Ma’Pellao Alang
Ma’pello Alang adalah kegiatan memindahkan jenazah dari
tongkonan dimana almarhum disemayamkan ke salah satu lumbung yang ada dalam
lokasi tongkonan tersebut. Jenazah tersebut disemayamkan selama tiga hari tiga
malam diatas lumbung sampai acara Ma’pasonglo dimulai. Sebelum dilakukan acara
ma’papengkalao, didahului dengan ibadah yang dipimpin oleh saksi ibadah yang telah
ditunjuk dalam kepanitian sebelumnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama
jenazah berada di lumbung, yakni dilakukan kegiatan ma’damanni yaitu pemberian
dekorasi atau aksesoris di sekitar peti jenazah. Dalam upacara tersebut
dipotong satu ekor babi. Tahap kedua (aluk rante) Pada tahap ini dilaksanakan
dengan beberapa prosesi, yaitu: a) Mangisi Lantang Mangisi lantang yaitu
mengisi pondok-pondok upacara yang telah disiapkan sebelumnya. Pondok (lantang)
terdiri dari a. Pondok Penerimaan Tamu (Lantang Karampuan), merupakan pondok
yang menampung para tamu dari berbagai kerabat atau keluarga yang tiba dari
berbagai tempat. Baik keluarga dari pihak bapak maupun dari pihak ibu b. Pondok
Keluarga (Lantang Keluarga), merupakan pondok tersendiri dari keluarga si mati
baik dari pihak ayah atau ibu yang telah dibagi sesuatu kesepakatan keluarga.
c. Lumbung Padi (Alang) merupakan tempat duduk untuk para pemangku adat, tokoh
agama, pemerintah setempat. Pihak keluarga yang telah disediakan pondok harus
menempati masing-masing. Keluarga yang hadir dan menempati pondok-pondok yang
telah disediakan juga membawa persediaan peralatan memasak, bahan makanan,
peralatan tidur selama acara pemakaman berlangsung. Rangkaian dari acara
mangisi pondok oleh pihak keluarga yang membutuhkan waktu sekitar dua hari juga
dilakukan kegiatan kebaktian atau ibadah di halaman tongkonan pada sore hari.
Pada acara tersebut pihak keluarga memotong ekor kerbau dan satu babi.
PUNCAK KEDUA UPACARA
RAMBU SOLO’
Ma’palao atau
Ma’pasonglo
Acara selanjutnya adalah acara ma’palao dan ma’pasonglo. Ma’
palao yaitu memindahkan jenazah dari lumbung ke lapangan tempat pelaksanaan
upacara dengan iringan araka-arakan khas masyarakat Toraja. Setelah sampai
dilapangan, kerbau dipotong dengan ditebas langsung langsung dileher oleh orang
tertentu. Kemudian daging dari kerbau tersebut dibagikan kepada masyarakat. Ma’pasonglo
artinya memindahkan jenazah dari lumbung ke lakkian atau bala’kaan yang
terletak di lokasi rante atau lapangan. Dalam acara itu didahului dengan
kegiatan ibadah kemudian dilanjutkan dengan makan bersama, diikuti oleh arakarakan
dengan membawa alat-alat upacara, antara lain:
- Bombongan atau gong berada paling depan yang dipikul dan dibunyikan secara berirama.
- Tombi atau bendera yang disediakan oleh keluarga sesuai dengan jumlah kerbau yang disediakan pihak keluarga.
- Kaseda merupakan kain merah yang diikat pada saringanuntuk tempat berlindung keluarga.
- Kerbau, paling depan adalah kerbau Balea/merah (Parepe) yang dihiasi dengan kain Maa’ di atas punggungnya disusul dengan kerbau belang (tedong bonga atau saleko), kerbau pudu’ dan lain-lain.
- Saringan yaitu usungan peti jenazah yang menyerupai Tongkonan (rumah adat Toraja)
- Bullean tau-tau, yaitu usungan patung. Arak-arakan itu kemudian secara teratur menuju lapangan atau rante tempat pelaksanaan upacara pemakaman. Pada acara itu dilakukan pemotongan satu ekor kerbau di rante.
Allo Katongkonan
(Penerimaan Tamu)
Allo Ka tongkonan adalah hari dimana pihak keluarga yang
berduka menerima tamu-tamu baik keluarga maupun kerabat lain yang datang dalam
pelaksanaan upacara pemakaman. Penerimaan tamu yang dimaksudkan disini adalah
penerimaan secara adat. Penerimaan khusus itu dilakukan, karena juga dilakukan
pencatatan barang bawaan keluarga yang baik berupa benda lain seperti makanan
dan lain-lain. Penerimaan tamu dengan mencatat barang bawaannya, dilakukan oleh
panitia ditempat penerimaan tamu. Penerimaan dan pencatatan itu biasanya
dilakukan ditempat yang menyerupai pos. Setelah proses registrasi atau
pencatatan selesai, para tamu diarahkan untuk memasuki pondok atau orang Toraja
sering menyebutnya lantang karampoan dan masuk secara bergiliran. Gotong royong
dari keluarga yang berduka maupun masyarkat setempat dapat dilihat secara
langsung dimana para ibu-ibu saling membantu didapur misalnya membantu mencuci
piring, memasak nasi juga untuk menyediakan dan menyuguhkan kopi dan beraneka
kue kepada para tamu yang telah hadir, masyarakat Toraja menyebutnya (to ma’
pakopi), biasanya to ma’ pakopi menggunakan baju seragam. Selain itu ada
ibu-ibu yang bertugas menyediakan sirih untuk diberikan kepada tamu (pangan)
pada masyarakat Toraja lebih dikenal to ma’ papangan. Ma’papangngan merupakan
kegiatan menyuguhkan sirih, pinang dan permen secara tertib dan teratur dengan
menggunakan sepu’ dan laki-laki memberikan rokok kepada tamu yang hadir. Dapat
terlihat pula perempuan dan laki-laki sama-sama berperan pada saat upacara
rambu solo’ berlangsung (menerima tamu). Setelah bertugas akan kembali ke
pondok khusus yang telah disediakan, ketika diberi tanda oleh petugas upacara
dengan membunyikan katto’ ( berupa potongan bambu yang sala satu sisinya diberi
lubang). Jika yang bertugas ma’papangngan meninggalkan tempat tamu, petugas
upacara akan memberi arahan kepada yang bertugas ma’pairuk atau ma’ pakopi untuk
menyuguhkan minuman dan aneka kue untuk memasuki lantang karampoan dan dibantu
oleh para laki-laki membawah gelas, ceret yang berisi kopi maupun teh.
Dalam Upacara Mantarima Tamu atau Allo Katongkonan, para
tamu akan disambut secara adat, antara lain:
Allo Katorroan (Hari
Istirahat)
Allo katorroan adalah waktu yang tidak melakukan aktifitas upacara.
Allo katorroan sendiri hari istirahat. Acara penting pada hari itu, adalah
membicarakan persiapan acara puncak pemakaman yang dilakukan oleh pihak keluarga
dan panitia. Pembicaraan itu meliputi persiapan upacara Mantaa Padang
(Mantunu), yaitu puncak upacara pemakaman. Pada saat itu disepakati kembali
mengenai jumlah kerbau yang akan dipotong dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan upacara puncak pemakaman yang disebut mantaa.
Mantaa Padang / Ma’tinggoro
Tedong / Mantunu Tedong
Manta Padang merupakan puncak pelaksanaan upacara pemakaman,
yaitu dengan memotong hewan yaitu kerbau (tedong) sesuai kesepakatan
sebelumnya. Hewan yang telah disediakan oleh pihak keluarga pada hari itu
dagingnya dibagi secara adat, yakni bagian-bagian tertentu dari daging tersebut
merupakan bagian bagi orang atau keluarga dari keturunan tertentu. Pembagian
itu juga terkait dengan tugas masingmasing orang dalam upacara tersebut. Acara
pembagian daging itu dilakukan oleh Toparengnge atau Ambe Tondok bersama panitia
yang disebut seksi-seksi Ma’lalan Ada’. Ma’lalan Ada’ adalah orang yang
bertugas membagikan daging sesuai peruntukkan dan hubungan kekerabatan orang yang
diupacarakan, diperuntukkan bagi pembangunan rumah ibadah, pembangunan desa dan
fasilitas umum dalam masyarakat dan diberikan dalam bentuk hidup, walaupun
secara simbolik sudah dinyatakan telah dikurbankan atau dipotong.
Ma Aa / Makaburu’ /
Penguburan
Ma Aa adalah akhir dari rangkaian acara pemakaman.
Kegiatannya adalah pemakaman jenazah yang diupacarakan, dengan urutan sebagi
berikut:
- Penurunan jenazah dari Lakkian. Setelah rangkaian upacara rambu solo’ selesai jenazah diturunkan dari lakkian, merupakan pondok tertinggi dari pondok lainnya untuk menempatkan jenazah selama pelaksanaan upacara.
- Ibadah pemakaman. Setelah jenazah diturunkan, diadakan ibadah pemakaman yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Pada susunan ibadah para jemaat, keluarga, kelompokkelompok masyarakat menghibur keluarga dengan pujian-pujian untuk menguatkan keluarga yang berduka.
- Ungkapann belasungkawa, Ungkapan belasungkawa dalam hal ini dari keluarga setempat, para tokoh agama yang mewakili, tokoh adat serta kerabat.
- Ucapan terima kasih dari keluarga
- Pemakaman jenazah ke tempat yang telah disepakati keluarga. Tempat pemakaman sekarang ini sudah banyak di patane (wadah pemakaman yang berbahan tembok).[bp]
COMMENTS